JAKARTA.SWARAWANITA NET,-Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(Kemen PPPA) menginisiasi digelarnya penandatanganan MoU bersama 5 (lima)
kawasan industri sekaligus meluncurkan rumah perlindungan pekerja perempuan di
kawasan industri tersebut, diantaranya di Cakung, Karawang, Cilegon, Pasuruan
dan Bintan. Hal ini bertujuan guna meningkatkan perlindungan bagi perempuan
pekerja dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi di kawasan industri.
“Data Catatan Tahunan
(CATAHU) Komnas Perempuan 2019, menunjukan bahwa angka kekerasan di ranah
publik mencapai 3.915 kasus yaitu sebanyak 28%, di mana kekerasan seksual
menempati peringkat pertama sebanyak 2.521 kasus (64%), diikuti berturut-turut
kekerasan fisik 883 kasus (23%), kekerasan psikis 212 kasus (5%), dan kategori
khusus yakni trafiking 158 kasus (4%), dan kasus pekerja migran 141 kasus
(4%),” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R. Danes dalam
sambutannya pada acara hari ini. Jakarta
(15/8)
Vennetia
menjelaskan bahwa pada ranah publik, khususnya di tempat kerja, perempuan kerap
menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan baik secara seksual, psikis
maupun fisik di sektor industri – pabrik, perkantoran, perniagaan besar,
perkebunan, pelayanan dalam transportasi publik seperti kapal laut, pesawat,
industri hiburan dan lain-lain. Adapun tiga jenis kekerasan seksual yang paling
banyak terjadi di ranah komunitas adalah pencabulan sebanyak 1.136 kasus,
perkosaan 762 kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus.
“Pekerja
perempuan khususnya buruh perempuan pabrik sangatlah rentan mengalami tindakan
kekerasan dan diskriminasi seperti sulit mendapatkan hak untuk berserikat, hak
cuti hamil, cuti haid, hubungan industrial yang tidak adil serta hak
perlindungan dan keselamatan kerja. Hal ini disebabkan karena banyak di antara
mereka yang belum memahami hak-hak perempuan pekerja, serta merasa takut, malu
dan tidak tahu tempat untuk melapor ketika mengalami kekerasan ataupun
diskriminasi di tempat kerja,” tegas Vennetia.
Vennetia
kembali menjelaskan bahwa perempuan juga tidak memiliki posisi tawar setara di
dalam struktur kerja, sehingga ketika mengalami kekerasan, mereka terpaksa
menerima dan tidak berani melapor karena terancam kehilangan pekerjaan. Hal ini
terjadi karena adanya pola relasi kuasa di lingkup tempat kerja.
“Padahal
sesuai Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perempuan
pekerja harus diberikan perlindungan yaitu berupa jaminan perlindungan
fungsi reproduksi perempuan yang meliputi pemberian istirahat pada saat hamil
dan melahirkan, pemberian kesempatan untuk menyusui anaknya serta perlindungan
hak-haknya sebagai pekerja, yaitu perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja,
perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja,” jelas Vennetia.
Sekretaris
Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu menegaskan bahwa pemerintah melalui Kemen
PPPA terus berupaya dalam memberikan perlindungan bagi perempuan pekerja dari
segala diskriminasi dan ekploitasi serta meningkatkan produktifitas mereka di
sektor industri, yaitu melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyediaan Sarana Kerja yang
Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja. Selanjutnya, Permen ini
diimplemetasikan menjadi Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang
diselenggarakan Kemen PPPA bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga
Kerja dan Kementerian Dalam Negeri.
“Beberapa
perusahaan di sektor industri juga mulai memiliki inisiatif memberikan
perlindungan bagi pekerjanya khususnya kaum perempuan. Namun, upaya ini perlu
didukung oleh sistem yang tersinergi dengan baik antara pekerja, perusahaan,
dan pihak lain serta berkaitan dengan persoalan perlindungan perempuan dan
penanganan kasus kekerasan. Hal inilah yang menjadi dasar kami menginisiasi
pembentukan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di lima Kawasan Industri,”
ungkap Pribudiarta.
Pribudiarta
menuturkan bahwa pembentukan Rumah Perlindungan ini bertujuan untuk menguatkan
upaya perlindungan terhadap pekerja perempuan yang sudah ada, mendekatkan
jangkauan dalam upaya penanganan dan perlindungan perempuan terutama di kawasan
industri, dan memberi ruang untuk berkolaborasi dalam menangani masalah
kekerasan yang dialami perempuan di sektor industri.
“Kami
harap rumah perlindungan ini dapat diduplikasi oleh Kawasan industri lainnya,
sehingga seluruh pekerja perempuan memiliki tempat untuk menyampaikan pengaduan
atas permasalahan yang mereka hadapi, memberikan pemulihan dan rehabilitasi
serta mendampingi proses hukum hingga tuntas, sehingga cita-cita kita semua
untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan dapat terwujud,”
terang Pribudiarta.
Pribudiarta juga menyampaikan bahwa Kemen PPPA mengapreasi komitmen dan kerjasama para pimpinan dan jajaran dari 5 kawasan industri yang telah hadir pada acara hari ini, di antaranya yaitu Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung di Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta; Karawang International Industrial City (KIIC) di Kab. Karawang, Jawa Barat; Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) di Kota Cilegon, Banten; Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Kab. Pasuruan, Jawa Timur; Bintan Industrial Estate (BIE) di Kota Bintan, Kepulauan Riau.
“Ke depan, kami juga akan memonitor dan mengevaluasi mekanisme pelayanan rumah perlindungan ini bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan lainnya yang ada di Kabupaten/Kota dan Provinsi terkait untuk bersama memastikan mekanisme pelayanan rumah perlindungan ini sudah berjalan dengan baik dan tepat sasaran,” pungkas Pribudiarta.
Pribudiarta juga menyampaikan bahwa Kemen PPPA mengapreasi komitmen dan kerjasama para pimpinan dan jajaran dari 5 kawasan industri yang telah hadir pada acara hari ini, di antaranya yaitu Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung di Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta; Karawang International Industrial City (KIIC) di Kab. Karawang, Jawa Barat; Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) di Kota Cilegon, Banten; Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Kab. Pasuruan, Jawa Timur; Bintan Industrial Estate (BIE) di Kota Bintan, Kepulauan Riau.
“Ke depan, kami juga akan memonitor dan mengevaluasi mekanisme pelayanan rumah perlindungan ini bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan lainnya yang ada di Kabupaten/Kota dan Provinsi terkait untuk bersama memastikan mekanisme pelayanan rumah perlindungan ini sudah berjalan dengan baik dan tepat sasaran,” pungkas Pribudiarta.
0 Komentar