BANDUNG.SWARAWANITA NET,– Semua orang, baik anak-anak maupun remaja, berpotensi mengalami gangguan kesehatan jiwa atau mental. Namun, banyak generasi muda Indonesia, termasuk Jawa Barat, enggan memeriksa kesehatan jiwa secara berkala.
Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jabar, misalnya, pada Januari-September 2019, jumlah kelompok usia 19-45 tahun yang mengunjungi RSJ mencapai 25.069 orang. Dalam kurun yang sama, jumlah kelompok usia 13-18 tahun yang mengunjungi RSJ menyentuh 3.104 orang.
Masalah perkawinan dan keluarga menjadi pencetus gangguan kesehatan jiwa yang paling dominan. Selain itu, gangguan kesehatan jiwa disebabkan juga oleh faktor pekerjaan, kondisi ekonomi, penyakit fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan.
Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jabar sendiri terus berupaya mencegah dan menekan jumlah ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dengan merintis Unit Crisis Center Pelayanan Kesehatan Jiwa.
“Itu respons terhadap kesehatan jiwa di masyarakat. Penanganan cepat tanggap (bagi ODGJ dan ODMK) sangat dibutuhkan,” kata Pj. Sekretaris Daerah Prov. Jabar Daud Achmad di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (31/10/19).
“Faktor pencetus ketidakberdayaan, kehilangan pasangan, tekanan sosial-ekonomi, hingga pekerjaan. Kami juga berupaya mengajak masyarakat agar memerhatikan masalah kesehatan jiwa serta menghapus stigma negatif gangguan kesehatan jiwa,” imbuhnya.
Selain itu, Pemdaprov Jabar pun akan menggagas program bernama Sekolah Tanpa Gawai (Setangkai). Program itu diluncurkan karena, saat ini, penggunaan gawai yang berlebihan dapat menjadi pencetus gangguan kesehatan jiwa, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
“Di Jabar, kami juga banyak menerima pasien ODMK usia anak karena kecanduan gadget (gawai). Situasi tersebut menjadi masalah yang menjangkiti anak-anak kita,” ucap Daud.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Anung Sugihantono mengapresiasi langkah Pemdaprov Jabar dalam menangkal gangguan kesehatan jiwa di kalangan anak-anak maupun remaja.
Menurut Anung, ada satu hal lain dan paling penting dalam pencegahan gangguan kesehatan jiwa, yakni meningkatkan literasi kesehatan. Jika literasi kesehatan tinggi, generasi muda akan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri untuk mendeteksi lebih dini kondisi kesehatan jiwanya.
“Sebenarnya yang paling mendasar (dalam pencegahan kesehatan jiwa) adalah memahami kesehatan itu. Kesehatan itu bukan diartikan bebas dari cacat bebas dari rasa sakit. Tapi, ada aspek psikososial, termasuk di dalamnya produktif dalam sosial, dan bersosialisasi,” katanya.
Kemudian, kata Anung, pemangku kebijakan mesti memerhatikan tingkat literasi teknologi, termasuk gawai, generasi muda. Pasalnya, teknologi bak pisau bermata dua. Jika digunakan dengan baik, teknologi akan penuh manfaat. Jika tidak, teknologi akan penuh mudarat.
“Di beberapa sekolah anak tidak boleh membawa gawai. Tapi, masalahnya, guru memberikan tugas yang mendorong anak menggunakan gawai. Ini jadi persoalan. Maka itu, kita harus memastikan bahwa mereka (generasi muda) menggunakan gawai dengan bijak,” katanya.
“Kita tidak boleh hanya melarang tanpa memberikan jalan keluar. Tapi, sebaiknya tidak boleh membiarkan tanpa membangun tanggungjawab. Keseimbangan inilah yang paling penting di ranah keluarga, komunitas, dan institusi,” ucap Anung melanjutkan.
Anung juga menyoroti pola komunikasi keluarga dan lingkungan dalam pencegahan gangguan kesehatan jiwa. Menurut dia, harus ada pola komunikasi baru yang dibangun dalam keluarga. Hal itu dilakukan karena channel komunikasi anak-anak maupun remaja sudah berubah dan dinamis.
“Pola komunikasi anak-anak sekarang tentu berbeda. Punya channel yang berbeda. Kalau dulu, kami, seusia saya, channel hanya orang tua dan teman sebaya. Sekarang dengan channel yang sifatnya media sosial, cara mengemukakannya berbeda. Ini yang harus diperhatikan,” katanya.
*Utarakan Pesaraan*
Selain itu, Anung meminta tenaga kesehatan turun ke lapangan demi meningkatkan literasi kesehatan masyarakat.
“Yang datang dari RSJ adalah bagian dari rujukan. Tapi, tenaga kesehatan tidak serta merta menunggu di rumah sakit. Harus melakukan dan turun ke lapangan untuk menemukan indikasi lebih dini. Kemudian melakukan promosi kesehatan,” katanya.
Dalam rangka pencegahan gangguan kesehatan jiwa, Anung menyarankan masyarakat untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan yang berkompenten dan memiliki pengetahuan mumpuni. Tujuannya supaya dicarikan jalan terbaik dalam upaya pencegahan.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kemenkes RI Fidiansjah. Menurut dia, mengutarakan perasaan menjadi cara terampuh dalam pencegahan gangguan kesehatan jiwa karena mampu meredakan emosi dan menenangkan jiwa.
“Jangan menunggu meledak, tapi harus disalurkan. Karena mengutarakan perasaan jadi salah satu cara paling efektif meredakan emosi manusia. Apa yang bergejolak dalam diri manusia bisa dikeluarkan secara perlahan,” katanya.
“Mengutarakan perasaan kepada Tuhan bisa dilakukan. Kita bisa menangis sejadi-jadinya, mengutarakan semua persoalan kepada Tuhan. Dengan begitu, kita akan lebih tenang karena ada beban yang dikeluarkan,” ucap Fidiansjah melanjutkan.
Fidiansjah pun menyatakan, setiap anggota keluarga mesti bertanggungjawab untuk memerhatikan dan mengingatkan semua anggota keluarga terkait kesehatan jiwa maupun fisik anggota keluarga lainnya.
“Keluarga mempunyai tanggungjawab untuk memerhatikan semua anggota keluarganya. Pada level manapun. Dengan begitu, kita bisa budayakan cek kesehatan secara berkala. Jangan menunggu sakit. Maka, cek kesehatan harus membudaya dan keluarga berperan penting,” ucapnya.(hms/die)
0 Komentar