Sebanyak 20 dari 27 kabupaten/kota di Jabar pun tergolong dalam kelas risiko bencana tinggi, empat di antaranya yakni Cianjur, Garut, Sukabumi, dan Tasikmalaya bahkan masuk dalam lima besar risiko bencana tertinggi nasional.
Untuk itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jabar menekankan perlunya menyusun cetak biru provinsi tangguh bencana alias Jabar Resilience Culture Province (JRCP).
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, JRCP akan menjadi sebuah visi sekaligus budaya yang melekat dalam setiap instrumen di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar se-Indonesia ini.
"Saya ingin membawa Jabar sebagai provinsi yang tangguh melalui multidimensi, maka disebutnya culture bukan program atau proyek," kata Ridwan Kamil saat jadi pembicara dalam acara Urban Motion Vol 3 dengan tema 'Resiliensi di Era Disrupsi' di Kampus ITB Kota Bandung, Jumat (17/1/20).
Emil --begitu Ridwan Kamil disapa-- pun memastikan bahwa JRCP akan dirilis pada 2020. "Tahun ini akan kami rilis cetak biru dari JRCP," tegasnya.
Selain itu, Emil juga memaparkan bahwa Jabar mewakili Indonesia dalam Ring of Fire --negara dengan gunung berapi paling banyak di dunia dan tempat berkumpulnya lempeng-lempeng dunia. "Sehingga gempa bumi sering terjadi. Nah, Jabar mewakili itu (Ring of Fire), gunung berapinya banyak," ucap Emil.
Emil pun menyatakan bahwa rata-rata per tahun laporan kebencanaan di Jabar mencapai 1.200, atau rata-rata dalam 365 hari dalam setahun terjadi 3 kali bencana alam per hari.
Adapun enam fokus pada cetak biru JRCP ini meliputi: (1) Resilience Citizens, yaitu: menciptakan masyarakat yang sadar resiko bencana, memiliki kesiapsiagaan, tangguh dan mampu pulih segera bila terkena bencana; (2) Resilience Knowledge, yaitu Iptek kebencanaan yang andal sekaligus memadukan kearifan lokal dan nilai sosial yang ada di Jabar.
Lalu, (3) Resilience Infrastructure, yakni menciptakan infrastruktur dan sarana pembangunan yang tangguh dan sebagai alat mitigasi; (4) Resilience Institution and Policy, yaitu sebuah kerangka regulasi dan kelembagaan yang mumpuni dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Serta, (5) Resilience Ecology, yaitu membentuk daya dukung lingkungan yang baik, mampu mengurangi risiko bencana dan menjaga keberlanjutan pembangunan; dan (6) Resilience Financing berupa kemampuan pembiayaan yang tangguh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk menjaga risiko investasi pembangunan.
"Kami tak ingin JRCP jadi dokumen saja, saya ingin anak-anak SD, SMP, SMA pun paham, termasuk masyarakat di perdesaan," tutup Emil.(hms/die)
0 Komentar