“Kami memberikan apresiasi kepada
Bareskrim Polri atas terungkapnya kasus ini. Kami akan melakukan
pendampingan dan memastikan penanganan selama proses penyelidikan dan
pemulihan anak korban sesuai kepentingan terbaik anak. Pemulihan kondisi
anak korban, baik fisik maupun psikologisnya menjadi fokus utama kami
agar mereka dapat kembali bermain dan belajar layaknya anak-anak yang
lain,” ujar Ciput.
Ciput menjelaskan Kemen PPPA telah
diberikan amanah untuk melindungi dan memastikan pemenuhan hak-hak anak
Indonesia. “Namun Kemen PPPA tidak dapat bekerja sendiri, kami mohon
kerjasama seluruh pihak, termasuk Polri dan pemerintah daerah sebab
dibutuhkan komitmen dan sinergi yang sungguh-sungguh dalam menuntaskan
segala bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak,” tutur Ciput.
Ciput menjelaskan melihat latar belakang
tersangka melakukan tindak pidana pencabulan anak menjadi sebuah alarm
bagi kita semua untuk lebih meningkatkan upaya pencegahan agar anak
terhindar dari segala bentuk kejahatan tersebut. “Ke depan, Kemen PPPA
akan memperkuat kerjasama dengan stakeholder terkait, seperti
Kemenkominfo, Kemendikbud, Pemerintah Daerah dan Siber Kreasi dalam
upaya pencegahan melalui literasi digital bagi orang tua, digital
parenting, internet aman bagi anak, Guru SIAP, dan inovasi-inovasi
lainnya yang memungkinkan anak terhindar dari akses pornografi dan
tereksploitasi seksual di ranah daring,” ujar Ciput.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan
Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono
menuturkan terungkapnya kasus ini berdasarkan hasil penyelidikan dan
kerjasama Subdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan
The US Immigration and Customs Enforcement (US ICE). “Terungkapnya
jaringan komunitas pedofil anak laki-laki sesama jenis ini berawal dari
informasi US ICE yang mendapatkan unggahan video berisi konten
menyimpang di sebuah akun Twitter. Kemudian Bareskrim Polri melakukan
penelusuran dan penyelidikan, hingga penangkapan tersangka berinisial PS
(44) di rumah penjaga sekolah di daerah Jawa Timur,” ujar Brigjen (Pol)
Argo.
Brigjen (Pol) Argo menuturkan akan
melakukan kerjasama dengan Kemen PPPA dalam mengawal proses pemulihan
anak korban melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan
dan Anak (UPTD PPA) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
guna mendapatkan kesaksian korban dengan mendahulukan kepentingan
terbaik bagi anak dengan pendekatan yang lebih humanis dan ramah anak.
Ia menambahkan pihaknya masih terus melakukan analisis terhadap akun
twitter tersangka yang digunakan sebagai media penyebaran foto dan video
guna mengungkap jaringan pedofil yang lebih luas.
“Tersangka akan dijerat dengan
undang-undang tindak pidana pencabulan terhadap anak dan/atau tindak
pidana eksploitasi seksual terhadap anak dan/atau tindak pidana dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan/ menyebarkan konten pornografi
anak melalui media elektonik. Tersangka mendapatkan ancaman hukuman
pidana penjara paling lama 15 tahun dan atau denda paling banyak 6
miliar rupiah,” tutur Brigjen (Pol) Argo.
Berdasarkan informasi tersangka,
terdapat tujuh korban berusia 6-15 tahun. Aksi cabul tersangka sudah
dilakukan sejak delapan tahun lalu. Selain itu, PS juga merekam aksinya
dan menyebarkan di grup sosial media twitter. PS membujuk korban dengan
diberikan uang, minuman keras, rokok, kopi, dan akses internet. Lalu,
PS juga mengancam jika tidak mau dicabuli, maka korban tidak diikut
sertakan dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Aksi kekerasan dan eksploitasi
seksual tersebut dilakukan di lingkungan sekolah, yakni di ruang Unit
Kesehatan Sekolah (UKS) dan rumah dinas penjaga sekolah.
Tersangka PS merupakan korban kekerasan
seksual (dicabuli dan disodomi) sejak usia 5-8 tahun oleh pamannya yang
saat ini telah meninggal dunia. Pengalaman buruk saat usia anak
menyebabkan PS mulai memiliki penyimpangan seksual karena terstimulasi
oleh kebiasaan melihat konten pornografi anak di media sosial dan
kemudian bergabung dengan komunitas pedofil.
0 Komentar