“Budaya
atau tradisi itu tidak statis tetapi dinamis. Dahulu, di Bali pernah
berlaku praktik serupa seperti kawin tangkap di Sumba, namun karena
tidak sesuai dengan norma dan perkembangan zaman akhirnya praktik
tersebut tergerus karena budaya tersebut tidak memberikan edukasi yang
baik. Kasus di Sumba ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap
kaum perempuan dan anak. Jadi jangan sampai alasan tradisi budaya
dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” tegas
Menteri Bintang pada Rapat Koordinasi Virtual terkait Penanganan Masalah
Kawin Paksa di Indonesia yang diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden
(KSP). Rapat tersebut juga diikuti oleh sejumlah pakar dan akademisi
dari Sumba dan Kupang, NTT.
Menteri
Bintang menambahkan bahwa para aktivis perempuan di Sumba sudah
memiliki data praktik kawin tangkap, sehingga pihak aparat kepolisian
dimohon untuk dapat menindaklanjuti setiap laporan kasus kawin tangkap.
“Kami
mohon kepada jajaran kepolisian di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba
Barat Daya, dan Sumba Barat untuk dapat membantu kami melindungi
perempuan dan anak. Mari kita bersinergi bersama bagi kepentingan
terbaik perempuan dan anak di Indonesia. Sebelumnya, kami sudah
melakukan komitmen dengan Kapolda Metro Jaya untuk melindungi perempuan
dan anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Kami juga berharap
sinergi bersama dengan jajaran kepolisian di Sumba, kementerian, lembaga
terkait, serta lembaga swadaya masyarakat setempat dapat menjadi
kekuatan bersama supaya praktik kawin tangkap yang merugikan ini tidak
lagi terjadi, dan praktik serupa tidak terjadi di daerah lainnya,” ujar
Menteri Bintang
Senada
dengan Menteri Bintang, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari
Pramodhawardani, menyatakan bahwa kawin tangkap tidak ada hubungannya
dengan budaya, karena sebuah budaya pasti memiliki nilai dan unsur
kemanusiaan.
“Praktik
kawin tangkap yang dianggap sebagai budaya ini jelas mengabaikan nilai
kemanusiaan dan merugikan harkat dan martabat manusia. Hal ini harus
menjadi perhatian semua pihak termasuk jajaran kepolisian karena ini
adalah persoalan serius. Jika selama ini tidak ada laporan atas praktik
ini, saya khawatir jangan-jangan korban tidak mau dan tidak bisa melapor
karena takut dengan ancaman kekerasan yang akan dihadapi. Untuk itu,
butuh respon aktif dari kepolisian. Data sudah ada dari 4 (empat)
wilayah ini (Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba
Barat), dan korban berusia antara 16-26 tahun. Kawan-kawan di kepolisian
tidak usah ragu menyelesaikan kasus ini karena ini adalah tindakan
kriminal kejahatan manusia,” ujar Jaleswari.
Para
pakar dan akademisi yang hadir meminta Kemen PPPA ikut mengawal dan
bersikap tegas dalam menangani kasus ini, mengingat hampir tidak pernah
ada penyelesaian secara hukum. Selama ini persoalan yang kerap terjadi
adalah penyelesaian melalui mediasi antar keluarga korban dan pelaku.
Para akademisi menilai kasus yang hanya berakhir pada tingkat mediasi
yang belum tentu memberikan solusi bagi korban tidak bisa dibiarkan
begitu saja.
0 Komentar