“Keberadaan PRT sangatlah penting untuk
menunjang dan membantu urusan rumah tangga serta kebutuhan sehari-hari.
Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga (RUU PPRT) harus segera disahkan guna memberikan perlindungan dan
kesejahteraan bagi PRT,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam sambutannya pada
Webinar Pentingnya Undang-Undang Perlindungan PRT untuk Perempuan
Indonesia.
Menteri Bintang menuturkan sudah menjadi
tugas negara untuk dapat memberikan perlindungan serta rasa aman dan
nyaman bagi segenap warganya, termasuk juga bagi PRT. “RUU PPRT sudah
masuk ke dalam RUU Prioritas pada tahun 2020 dalam masa bakti DPR RI
periode 2019 – 2024. Oleh sebab itu, marilah bersama-sama kita mengawal
terbentuknya aturan ini, demi memperoleh kesetaraan dan keadilan dalam
pemenuhan hak bagi PRT. Selain itu, karena data mengatakan bahwa
mayoritas PRT berjenis kelamin perempuan, selaku Menteri yang memiliki
tugas untuk menjamin pemberdayaan perempuan di Indonesia, saya tentunya
sangat mendukung pengesahan RUU PPRT ini agar tercipta aturan hukum yang
jelas mengenai hak dan kewajiban dari PRT termasuk juga dengan pemberi
kerja. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan, eksploitasi,
dan diskriminasi terhadap PRT,” tutur Menteri Bintang.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja
Nasional (SAKERNAS) Badan Pusat Statistik pada Agustus 2019, Pekerja
rumah tangga (PRT) merupakan salah satu jenis pekerjaan dalam sektor
informal. Di sektor informal sendiri, persentase pekerja perempuan
memang lebih kecil dibanding laki-laki, dan hal ini merupakan hal yang
umum terjadi secara global (ILO, 2018). Pekerja laki-laki pada kegiatan
informal sebesar 58,03 persen, sementara perempuan 41,97 persen. Data
Survei ILO dan Universitas Indonesia pada 2015 memperkirakan jumlah PRT
di Indonesia sebanyak 4,2 juta jiwa, dengan rasio 292 PRT perempuan
untuk setiap 100 PRT laki-laki. Berdasarkan angka tersebut tidak menutup
kemungkinan bahwa jumlah PRT yang sebenarnya lebih besar dari data-data
yang disajikan karena seringkali PRT dipekerjakan secara lisan sehingga
luput dari pencatatan data.
Sementara itu, dalam kesempatan yang
sama Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah mengungkapkan pengesahan
RUU PPRT ini bertujuan menciptakan hubungan industrial kondusif tanpa
diskriminasi antara PRT dan pemberi kerja. “Pekerja Rumah Tangga atau
PRT dia yang selalu dekat dengan kita, dia yang selalu membantu
pekerjaan rumah kita sehari hari, dan dia juga yang berjasa untuk
keluarga kita. PRT memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam
perekonomian global melalui tingkat angkatan kerja nasional. Jumlah dari
PRT diperkirakan lebih dari 4 juta jiwa dengan persentase 75 persen PRT
merupakan perempuan. Oleh sebab itu, hal yang tidak boleh terlewatkan
dalam RUU PPRT ialah pentingnya perjanjian kerja antara PRT dan pemberi
kerja guna memastikan hak dan kewajiban kedua belah pihak dan penegakan
norma kerja,” ungkap Menteri Ida.
Menteri Ida menambahkan dalam
kenyataannya masih banyak permasalahan yang harus dihadapi PRT di
Indonesia diantaranya; PRT yang sampai saat ini belum dianggap sebagai
sebuah profesi; rata-rata jam kerja PRT lebih panjang dari pekerja pada
umumnya; sebesar 63 persen PRT bekerja 7 hari dalam seminggu; banyaknya
PRT yang tidak memiliki perjanjian atau kontrak kerja yang jelas; dan
minimnya perlindungan jaminan sosial dan asuransi bagi PRT.
“Adapun tujuan perlindungan PRT ialah
memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja, mencegah segala
bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan seksual, mengatur
hubungan kerja yang harmonis, meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan
keterampilan PRT, dan meningkatkan kesejahteraan PRT. Perlindungan
terhadap PRT sudah menjadi perhatian bagi pemerintah namun tidak akan
terwujud tanpa adanya sinergi dari seluruh pihak. Oleh karena itu, saya
ingin mengajak kita semua, mari bersama kita dukung pengesaan RUU PPRT
dan serukan stop kekerasan terhadap pekerja rumah tangga mulai dari diri
kita sendiri dan keluarga,” tambah Menteri Ida.
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia
(Kowani), Giwo Rubianto mengatakan setelah melalui 16 tahun perjuangan
di DPR untuk mendapat legitimasi atas statusnya yang sempat
mandek/mangkrak, pengesahan RUU PPRT ini akan menjadi sejarah baru dalam
penghapusan kekerasan dan diskriminasi di Indonesia, khususnya terhadap
PRT. RUU PPRT akan diusulkan menjadi RUU Inisiatif dan akan disidang
paripurnakan pada Selasa, 14 Juli 2020 dan Kamis, 16 Juli 2020.
“Kami sangat bersyukur pada periode DPR
2020 – 2024, RUU PPRT ini mendapatkan perhatian sejumlah anggota DPR.
RUU PPRT ini menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dalam perlindungan
pekerja dan warga negara Republik Indonesia karena bersifat mengikat dan
adanya kepastian hukum. Maka dari itu perlu ada pengawalan dari kita
semua,” ujar Giwo.
Seperti yang kita ketahui bersama, PRT
merupakan pekerjaan yang rawan dan rentan dalam perlindungan hukum
karena wilayah kerja bersifat domestik dan privat sehingga tidak ada
kontrol dan pengawasan Pemerintah. Padahal praktik situasi kerjanya
rawan dan rentan terhadap diskriminasi seperti pelecehan terhadap
profesi, eksploitasi, dan kekerasan baik secara ekonomi, fisik dan
psikis (dalam bentuk intimidasi maupun dalam bentuk isolasi).
“Di dalam RUU PPRT nantinya harus
dipastikan adanya hak dan kewajiban yang berimbang antar PRT dan pemberi
kerja agar memberikan perlindungan dalam bentuk penghormatan hak asasi
manusia, keadilan dan kesetaraan, dan kepastian hukum. Hal ini juga
merujuk kepada Sustainable Development Goals (SDGs) yang menyebutkan No
One Left Behind, guna meningkatkan kualitas hidup secara ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan PRT sebagaimana pekerja lainnya
tanpa ada yang tertinggal, serta memperjuangkan hak dan kewajiban yang
seimbang antara PRT dan pemberi kerja,” ujar Giwo.
0 Komentar