Kongres Sumpah Pemuda 1928 adalah bagian penting dari Sejarah Etnis Tionghoa


Tangsel.Swara Wanita Net.-

Oleh Jeremy Huang Wijaya.

       Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan Banten Miliknya Azmi Abu Bakar Mencatat Sumbangsih Peranan Warga Tionghoa dalam Kongres Sumpah Pemuda 1928.
        Azmi Abu Bakar pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa menyatakan " Sejarah Sumpah Pemuda 1928 identik dengan Sejarah Etnis Tionghoa. Bagaimana tidak, jika tempat penyelenggaraan Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 diadakan di rumah Sie Kong Liong, yang jelas jelas orang Tionghoa" kata Azmi Abu Bakar. Kemudian Azmi Abu Bakar juga menjelaskan dalam kongres tersebut juga hadir 5 pemuda Tionghoa yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Sing, John Liau Tjoan Hok, Tjio Djin Kwie, dan Johan Muhammad Tjia.
      Memang kehadiran Mereka Tidak membawa nama Jong Tionghoa tetapi mereka melebur dalam organisasi kepanduan yang ada. Sejak dulu kedatangan warga Tionghoa ke Nusantara melebur menjadi satu dengan warga masyarakat lainnya. Membaur menjadi satu dengan warga lainnya.
   Tome Pires penulis buku yang berjudul Suma Oriental juga menuliskan warga Tionghoa yang melebur jadi satu dengan warga masyarakat di Nusantara. Mereka berasimilasi dan membaur dengan warga yang ada sejak abad ke 15.
     Tome Pires merupakan seorang ahli obat-obat dari Lisbon, Portugis. Ia menghabiskan waktunya di Malaka mulai 1512 hingga 1515.

Selama waktu itu, ia telah mengunjungi Jawa dan Sumatera.
      Dukungan terhadap Kongres Sumpah Pemuda diperoleh dari berbagai kalangan di Indonesia, termasuk dari keturunan Tionghoa. Rumah No. 106 di Jalan Kramat, Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu kiprah keturunan Tionghoa pada peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Di rumah itu lah pertama kalinya para pemuda mengikrarkan diri untuk bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Rumah yang dijadikan lokasi pembacaan ikrar Sumpah Pemuda awalnya adalah tempat indekos.

Para pemuda dan mahasiswa yang pernah tinggal di sana antara lain ialah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.



Sejak 1927, rumah tersebut digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan.

Dikutip dari harian Kompas yang terbit pada 1 November 2018, rumah indekos itu merupakan milik seorang keturunan Tionghoa, Sie Kong Liong.

Saat mengizinkan rumah indekosnya digunakan sebagai tempat pembacaan ikrar Sumpah Pemuda, Sie Kong Liong secara tak langsung menanggung risiko bakal dipenjara sebab kongres tersebut berbau politis.

Selain Sie Kong Liong, keturunan Tionghoa yang juga memiliki andil dalam peristiwa Sumpah Pemuda ialah Yo Kim Tjan. Ia adalah orang pertama yang merekam lagu Indonesia Raya yang pertama kali diperdengarkan WR Soepratman dalam Kongres Sumpah Pemuda.

Yo Kim Tjan merupakan seorang pengusaha dan importir piringan hitam di Jakarta. Usai WR Soepratman memperdengarkan lagu "Indonesa Raya" pada 28 Oktober 1928 di hadapan kongres, ia pun langsung mendatangi kawannya, Yo Kim Tjan.

Maksud kedatangannya itu tak lain untuk meminta bantuan pengusaha Tionghoa tersebut untuk membantu proses perekaman lagu "Indonesa Raya".
    Selain Sie Kong Liong, keturunan Tionghoa yang juga memiliki andil dalam peristiwa Sumpah Pemuda ialah Yo Kim Tjan. Ia adalah orang pertama yang merekam lagu Indonesia Raya yang pertama kali diperdengarkan WR Soepratman dalam Kongres Sumpah Pemuda.

Yo Kim Tjan merupakan seorang pengusaha dan importir piringan hitam di Jakarta. Usai WR Soepratman memperdengarkan lagu "Indonesa Raya" pada 28 Oktober 1928 di hadapan kongres, ia pun langsung mendatangi kawannya, Yo Kim Tjan.

Maksud kedatangannya itu tak lain untuk meminta bantuan pengusaha Tionghoa tersebut untuk membantu proses perekaman lagu "Indonesa Raya".

Usai WR Soepratman menyampaikan maksud kedatangannya, Yo Kim Tjan pun mengajak kawannya itu untuk merekam lagu "Indonesa Raya" di perusahaan perekaman asing.

Dikutip dari berita harian Kompas yang terbit pada 24 Oktober 1968, sejumlah perusahaan perekaman asing didatangi oleh WR Soepratman dan Yo Kim Tjan dalam rangka merekam lagu yang kelak menjadi lagu kebangsaan resmi Indonesia.

Namun, upaya mereka berdua merekam lagu "Indonesa Raya" di perusahaan perekaman asing menemui jalan buntu. Yo Kim Tjan bahkan harus melakukan perjalanan keliling Eropa untuk merekam lagu "Indonesa Raya" ke dalam bentuk piringan hitam.

Karena tak mendapati perusahaan yang berkenan merekam, dalam perjalanannya ke Eropa, Yo Kim Tjan pun membeli alat perekaman yang juga akan ia gunakan untuk perusahaannya di Indonesia.

Proses perekaman lagu "Indonesa Raya" pun dimulai setelah Yo Kim Tjan membeli alat tersebut. Dalam perjalanannya, proses perekaman pun tak berjalan mulus lantaran harus menghadapi berbagai rintangan dari pemerintah kolonial Belanda.

Kendati demikian, akhirnya proses perekaman ke dalam bentuk piringan hitam itu bisa selesai. Lagu "Indonesa Raya" yang direkam waktu itu merupakan lagu instrumental tanpa syair yang dibawakan oleh orkestra yang dipimpin langsung WR Soepratman.
     Azmi Abu Bakar juga menjelaskan "Kemudian yang tak kalah pentingnya lagu Indonesia Raya juga dimuat pertama kalinya di Sin Po, media besar milik orang Tionghoa pada 10 November 1928. Sebelumnya WR Supratman telah menawarkan kebeberapa media agar dimuat pada beberapa media lain, tetapi hanya Sin Po yang berani dan mau memuatnya pada 10 November 1928"kata Azmi Abu Bakar.
          Itulah Kiprah Peran Warga Tionghoa dalam Kongres Sumpah Pemuda

Posting Komentar

0 Komentar