Sejarah Pajak Sejak Kerajaan dan Hindia Belanda


Bandung.Swara Wanita Net.-


Oleh Jeremy Huang Wijaya

Pajak sudah ada sejak jaman kerajaan namanya upeti, rakyat diminta memberikan upeti kepada kerajaan dengan imbalan keamanan dan ketertiban dalam berdagang dan dapat ijin usaha dari kerajaan,, runtuhnya kerajaan ketika kerajaan menaikkan upeti timbul pemberontakan, sejarah Ken Arok memberontak kerajaan Kediri karena upeti yang tinggi.
         Jaman VOC mengumpulkan pajak demi kelangsungan VOC dan pembangunan kota Batavia tahun 1619. Gubernur Jenderal VOC yaitu JP Coen Penguasa VOC pertama yang mengeluarkan surat keputusan Orang Tionghoa pada 9 Oktober 1619 mengeluarkan surat keputusan Hoofdgeld der Chinesen yaitu pajak perkenalan orang Tionghoa yang tinggal di Batavia berumur 16 sampai 60 tahun harus bayar pajak  1,5 reaksi perkepala ada pajak pasar, pajak kanal, pajak perjudian, pajak pemancingan ikan, pajak pertunjukan wayang, pajak minuman arak, ketika VOC membangun jalan dari Batavia ke tangerang tahun 1685 inilah di terapkan pajak perkenalan orang Tionghoa, dan ada pajak gula.padda 22 Maret 1708 VOC mengeluarkan keputusan setiap pabrik gula untuk membayar pajak sebesar 10 ringgit pertahun Karena Pajak Gula yang tinggi ini mengakibatkan Geger Pecinan, dimana timbulnya perlawanan warga Tionghoa akibat Pajak Gula dan jatuh nya harga gula ini di bulan Oktober tahun 1740.
          Pada 1885, pemerintah Kolonial Belanda membedakan besar tarif pajak berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak.

Seperti pemerintah memberlakukan kenaikan pajak tinggal untuk warga Asia menjadi 4 persen
       Ketika masuk era kolonial oleh Belanda dan bangsa Eropa pajak mulai dikenakan.

Pajak yang diterapkan itu, seperti pajak rumah, pajak usaha, sewa tanah maupun pajak kepada pedagang. Itu diperlakukan pada 1839.

Adanya sistem itu membuat masyarakat merasa berat dan terbebani. Apalagi tidak ada kejelasan dan banyak penyelewengan oleh pemerintah kolonial waktu itu.
       Dalam buku Wahyu Yang hilang negara yang Goncang tahun 2019 sejarah wan Ong Hok Kam menuliskan Pajak Bumi Bangunan pertama kali diputuskan oleh Raffles pada Februari 1814 adopsi dari Sistem  Raiyatwari, sistem yang di terapkan di Madras India 1792, merupakan usaha untuk mengurus pajak bumi secara langsung dengan meneliti tanah garapan dari masing masing pemilik tanah dengan menaksir pajak bumi berdasakan setiap tanah milik dan dengan mengumpulkan pajak bumi secara langsung dari para tuan tanah. surat keputusan Rafles yang dikeluarkan Februari 1814 ada dua kategori besar yang terkena pajak yakni sawah dan tegal(ladang huma) dimana Sawah kelas 1 mesti mengeluarkan pajak setengah dari hasilnya, sawah kelas II dua perlima dari hasil sebagai pajak, dan sawah kelas III sepertiga dari hasil sebagai pajak, sementara tegalan kelas I dua perlima dari hasil sebagai pajak. Tegal kelas II sepertiga dari hasil sebagai pajak. Dan tegal kelas III seperempat dari hasil sebagai pajak. Pajak tanah yang menjadi sebagian besar penghasilan bagi penjajah ini menimbulkan banyak pemberontakan dari petani
       Jika melihat peraturan pajak Bumi Bangunan yang dikeluarkan jaman Rafles lebih rendah dibandingkan kenaikan pajak yang diputuskan pemerintah kota Cirebon yang menaikkan pajak minimal 150 persen bahkan ada yang sampai 1000 persen.
        Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (2015), pengutipan pajak pasar pada 1878 merupakan salah satu yang memberatkan penduduk. Setiap orang yang berjualan di pasar harus membayar sekurang-kurangnya satu gulden. Orang yang tidak membayar pajak itu diancam dengan hukuman kurungan atau denda sebesar 15 gulden,” tulis Sartono.

Sartono menyebut, kegusaran penduduk terhadap pungutan pajak menjadi bertambah karena langkanya uang dan rendahnya harga hasil pertanian. Salah satu riak pemberontakan terjadi pada akhir 1825. Orang yang menghasut pemberontakan itu adalah Tumenggung Mohamad, seorang demang dari Menes, Pandeglang, Banten.

“Ia dan pengikutnya menolak untuk membayar pajak, dan gerakan itu kemudian bh berkembang menjadi huru-hara yang ditujukan terhadap pemungut-pemungut pajak,” tulis Sartono.
      Dikutip dari Wikipedia "Undang -undang Pendapatan tahun 1918 , 40 Stat. 1057, menaikkan tarif pajak penghasilan dibandingkan yang ditetapkan tahun sebelumnya. Undang-undang tersebut menyederhanakan struktur pajak yang dibuat oleh undang-undang tahun 1917 . Alih-alih menerapkan "pajak normal dan pajak tambahan" pada undang-undang pajak normal dan pajak tambahan tahun 1916, undang-undang tersebut menciptakan struktur pajak tunggal dengan Pajak Normal dan Pajak Tambahan.

Tarif tertinggi dinaikkan menjadi 77%, dan diterapkan pada pendapatan di atas $1.000.000. Tarif tertinggi Undang-Undang Pendapatan Perang tahun 1917 telah mengenakan pajak atas semua pendapatan di atas $2.000.000 dengan tarif 67%.

Undang-undang ini berlaku untuk pendapatan tahun 1918. Untuk tahun 1919 dan 1920 tarif pajak normal tertinggi dikurangi dari 12 persen menjadi 8%. Hal ini mengurangi tarif pajak marjinal teratas yang menggabungkan pajak normal dan pajak tambahan dari 77% menjadi 73%.."Selain Pajak Normal dan Pajak Tambahan yang dikenakan terhadap penghasilan bersih orang pribadi dalam Undang-Undang Pendapatan tahun 1916, pajak "seperti biasa" dan pajak "tambahan serupa" dikenakan terhadap penghasilan bersih orang pribadi.
         Yang harus dipertimbangkan  oleh pemerintah Kota Cirebon jika tidak menurunkan pembayaran PBB dapat mengakibatkan perpindahan para pengusaha dari Kota Cirebon ke  Kota lain seperti yang terjadi jaman VOC dimana warga meninggalkan Batavia ke kota kota lain karena besarnya pajak di Batavia tahun 1700an

Posting Komentar

0 Komentar