“Tren” Judi Online di Kalangan Legislatif: Bukti Disintegritas Demokrasi?
Oleh: Salma Fauziah, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
#Opini
Bandung.Swara Wanita Net..-Bulan Juni lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kabar banyaknya anggota legislatif yang terlibat dalam judi online. Menurut Kompas.com, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana,
melaporkan bahwa 82 anggota DPR, termasuk yang masih aktif, terlibat dalam aktivitas ini. Angka
ini jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya diungkapkan oleh Habiburokhman dari Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD), yang menyebut hanya beberapa anggota legislatif terlibat.
Habiburokhman mengakui bahwa laporan yang diterimanya berasal dari masa pandemi,
dan MKD telah memberikan peringatan terkait pelanggaran kode etik. Namun, jumlah anggota
legislatif yang terlibat dalam judi online terus meningkat. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Lebih mengejutkan lagi, menurut Jabar.pikiran-rakyat.com, lebih dari 1.000 anggota DPR
dan DPRD terlibat dalam judi online, dengan PPATK menemukan lebih dari 65 ribu transaksi
bernilai ratusan juta hingga Rp25 miliar per orang. Total perputaran uang mencapai ratusan miliar
rupiah.
Arfianto Purbolaksono dari The Indonesian Institute, seperti dilansir Tirto.id, menyatakan
bahwa temuan ini sangat memalukan. Sebagai wakil rakyat, mereka dipilih dan digaji untuk
mengemban amanah. Temuan ini semakin mencoreng nama badan legislatif di mata masyarakat.
Survei Polling Institute menunjukkan tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga
legislatif mencapai 37,1%. Kasus judi online ini tentu berpotensi meningkatkan ketidakpercayaan
tersebut.
Mengapa judi online menjadi "tren" di kalangan legislatif? Banyak faktor yang mendorong
seseorang untuk terlibat dalam aktivitas judi online. Hingga saat ini, belum ada tanggapan
langsung dari anggota legislatif mengenai alasan keterlibatan mereka. Namun, dari rekam jejak
Kemenkominfo setahun ke belakang, kita dapat melihat bahwa Kemenkominfo turut bertanggung
jawab atas kejadian ini. Sebagai lembaga di bidang komunikasi dan informasi, Kemenkominfo
seharusnya memberikan pengawasan, pembatasan, dan pemberantasan terhadap hal-hal yang
bertentangan dengan syariat.
Catatan terbaru menunjukkan bahwa sejak tahun 2023 hingga Mei 2024, Kemenkominfo
sudah gencar melaksanakan upaya preventif kepada masyarakat melalui program literasi akan
bahaya judi online. Dalam Siaran Pers No. 447/HM/KOMINFO/07/2024 pada Kamis, 25 Juli 2024,
Menkominfo menginformasikan bahwa satuan satgas pemberantasan judi online telah berhasil
menurunkan jumlah akses masyarakat ke situs judi online sebanyak 50 persen. Lebih dari 1,9 juta
situs judi online ditutup, sekitar 550 akun e-wallet yang berafiliasi dengan situs judi online diblokir,
serta dikenakan denda senilai Rp500 juta untuk setiap konten yang melanggar aturan terkait judi
online.
Namun, meskipun sudah ada upaya yang signifikan, efektivitas langkah-langkah tersebut
masih menjadi tanda tanya besar. Ketika satu situs ditutup, situs baru dengan cepat muncul kembali
dengan nama dan domain yang berbeda. Selain itu, sanksi yang tidak memberikan efek jera juga
menambah masalah. Untuk itu, perlu adanya kerjasama lintas sektor, termasuk dengan pihak
internasional, agar pemberantasan aktivitas judi online dapat dilaksanakan secara menyeluruh.
Tugas wakil rakyat adalah menjembatani aspirasi rakyat dengan penguasa dan
memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Dengan terlibat dalam aktivitas judi online, anggota
legislatif melanggar kode etik profesi mereka, tepatnya Pasal 3 Ayat (3) yang menyatakan bahwa
anggota DPR dilarang mendatangi atau mengunjungi tempat perjudian. Selain itu, mereka juga
melanggar kode etik terkait integritas dan etika moral, kepatuhan terhadap hukum, memberikan
contoh yang baik untuk masyarakat, serta tanggung jawab dan kepercayaan publik.
Inilah yang terjadi ketika kekuasaan dikuasai oleh penguasa kapitalis, yang hanya
menjalankan tugas jika ada keuntungan. Sesuai dengan slogan kapitalisme, "meraih keuntungan
sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya," judi online pun dianggap sebagai cara mudah
meraih keuntungan. Akibatnya, mereka terperangkap dalam lingkaran setan judi online yang tak
berkesudahan.
Deskripsi wakil rakyat yang kita lihat sekarang sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam
sistem Islam. Islam memandang wakil rakyat sebagai amanah besar yang harus dijalankan dengan
tanggung jawab penuh. Dalam sistem Islam, pemimpin dipilih bukan hanya berdasarkan
popularitas atau kekayaan, tetapi atas dasar integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai moral dan
etika yang tinggi.
Sistem Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat, yang akan dihisab
(dipertanggungjawabkan) baik di dunia maupun di akhirat. Dengan menerapkan sistem Islam,
integritas dan moralitas para pemimpin akan dijaga, sehingga mereka tidak akan terjerumus dalam
praktik-praktik yang merugikan rakyat, seperti judi online.
Demokrasi, yang saat ini kita anut, terbukti tidak mampu menangani masalah moralitas
dan integritas di kalangan pemimpinnya. Sistem ini cenderung mempromosikan kepentingan
pribadi dan kelompok, serta rawan terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Wakil rakyat
yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat, malah sering kali terjebak dalam praktik
praktik yang mencoreng nama baik mereka dan melemahkan kepercayaan publik.
Tren judi online di kalangan legislatif ini bukan hanya sekadar aib pribadi, tetapi bukti
nyata disintegritas demokrasi kita. Kepercayaan publik terkikis, dan demokrasi yang seharusnya
menjadi alat untuk kesejahteraan bersama justru dicemari oleh perilaku tidak bermoral wakil
rakyat. Inilah saatnya kita untuk kembali pada penerapan sistem Islam untuk membangun kembali
integritas dan kepercayaan dalam pemerintahan demi kemaslahatan bersama.
Dengan sistem Islam, kita dapat menciptakan pemerintahan yang adil, transparan, dan
bertanggung jawab, yang benar-benar melayani rakyat dan bukan sebaliknya. Hanya dengan
sistem yang berlandaskan nilai-nilai moral dan etika yang kuat—sistem Islam, kita bisa
memastikan bahwa wakil rakyat benar-benar menjalankan amanahnya dengan baik.
Wallahualam.
0 Komentar